DEPOK, KOMPAS.com- Anak-anak marjinal yang kurang beruntung ternyata kurang cocok dengan sitem sekolah formal. Pendidikan alternatif merupakan salah satu cara untuk membantu pemerintah untuk memenuhi komitmen dunia terhadap hak anak atas pendidikan. Agar pendidikan anak-anak marjinal ini berhasil, diperlukan kepemimpinan inklusif.
Demikian dikemukakan psikolog Frieda Maryam Mangunsong Siahaan, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Rabu (18/8/2010), di Kampus UI Depok, Jawa Barat.
"Kepemimpinan inklusif menerima perbedaan sebagai anugerah yang berharga, yang dapat memperkaya komunitas, serta terlibat dalam membimbing orang lain untuk mengeksplorasi dan berbagi," katanya .
Frieda menjelaskan, anak-anak yang tergolong kurang beruntung karena faktor ekonomi, perbedaan ras, keterbatasan fisik atau bias gender, menjadi bagian dari masyarakat marjinal. Banyak kelompok anak dan remaja terus tersingkirkan dari pendidikan berkualitas karena mereka adalah anak perempuan, anak yang bekerja, yang berstatus pengungsi, yang terinveksi atau terdampak HIV dan AIDS, yang tinggal di daerah terpencil, yang berasal dari minoritas linguistic, budaya atau agama. Juga yang tinggal dalam situasi kemiskinan yang ekstrim, dalam ketidakamanan dan dalam situasi konflik.
Dengan berada pada lingkungan dan keadaan yang berbeda, anak pun berkembang sesuai dengan potensi herediter dan lingkungan yang memengaruhinya. Anak yang kurang beruntung tumbuh dan besar dalam lingkungan sosial ekonomi rendah yang serba kekurangan, orangtuanya seringkali gagal mempersiapkan anak-anak secara sosial, motivasional dan kognitif untuk menghadapi tugas-tugas sekolah.
"Oleh karena itu, banyak anak marjinal yang kurang beruntung kurang cocok dengan sistem sekolah formal," katanya.
Tentang pendidikan alternatif, Frieda mengatakan sebagai cara pemberdayaan anak yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional. Secara umum, berbagai bentuk pendidikan alternative memiliki tiga kesamaan, yaitu pendekatannya lebih bersifat individual. Pehatian lebih besar diberikan kepada anak, orangtua/keluarga, pendidik, serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman anak.
Demikian dikemukakan psikolog Frieda Maryam Mangunsong Siahaan, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Rabu (18/8/2010), di Kampus UI Depok, Jawa Barat.
"Kepemimpinan inklusif menerima perbedaan sebagai anugerah yang berharga, yang dapat memperkaya komunitas, serta terlibat dalam membimbing orang lain untuk mengeksplorasi dan berbagi," katanya .
Frieda menjelaskan, anak-anak yang tergolong kurang beruntung karena faktor ekonomi, perbedaan ras, keterbatasan fisik atau bias gender, menjadi bagian dari masyarakat marjinal. Banyak kelompok anak dan remaja terus tersingkirkan dari pendidikan berkualitas karena mereka adalah anak perempuan, anak yang bekerja, yang berstatus pengungsi, yang terinveksi atau terdampak HIV dan AIDS, yang tinggal di daerah terpencil, yang berasal dari minoritas linguistic, budaya atau agama. Juga yang tinggal dalam situasi kemiskinan yang ekstrim, dalam ketidakamanan dan dalam situasi konflik.
Dengan berada pada lingkungan dan keadaan yang berbeda, anak pun berkembang sesuai dengan potensi herediter dan lingkungan yang memengaruhinya. Anak yang kurang beruntung tumbuh dan besar dalam lingkungan sosial ekonomi rendah yang serba kekurangan, orangtuanya seringkali gagal mempersiapkan anak-anak secara sosial, motivasional dan kognitif untuk menghadapi tugas-tugas sekolah.
"Oleh karena itu, banyak anak marjinal yang kurang beruntung kurang cocok dengan sistem sekolah formal," katanya.
Tentang pendidikan alternatif, Frieda mengatakan sebagai cara pemberdayaan anak yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional. Secara umum, berbagai bentuk pendidikan alternative memiliki tiga kesamaan, yaitu pendekatannya lebih bersifat individual. Pehatian lebih besar diberikan kepada anak, orangtua/keluarga, pendidik, serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar